Halaman

Jumat, 05 November 2010

Pesantren Sebagai Subkultur

PESANTREN SEBAGAI SUBKULTUR
OLEH KH.ABDURRAHMAN WAHID
Pengakuan bahwa pesantren adalah subkultur masih berupa usaha pengenalan identitas kulturil yang dilakukan dari luar kalangan pesantren, bukanya oleh kalangan pesantren sendiri. Jika diingat pendekatan ilmiyah yang terbaik untuk mengenal hakekat sebuah lembaga kemasyarakatan adalah pendekatan naratif (narrative), dimana kalangan lembaga itu sendiri yang melakukan identifikasi dalam bentuk monografi-monografi.
Dengan demikian, selama istilah itu belum diuji secara ilmiah-murni, kesimpulan apapun juga yang didapat dari penggunaan masih akan berupa kesimpulan sementara, tetapi sifat kesementaraan itu tidak mengurangi nilai objektifitas ilmiahnya.
    Dengan pola kehidupan yang unik, pesantren mampu bertahan selama berabad-abad untuk mempergunakan nilai-nilai hidupnya sendiri. Karena itu dalam jangka panjang pesantren berada dalam kedudukan kulturil yang relative lebih kuat daripada masyarakat sekitarnya, kedudukan ini dapat dilihat dari kemampuan pesantren untuk melakukan transformasi total dalam sikap hidup masyarakat sekitarnya, tanpa ia sendiri harus mengorbankan identitas dirinya. Pola pertumbuhan hamper setiap pesantren menunjukan gejala kemampuan melakukan perubahan total ini. Bermula dari inti sebuah surau guna keperluan ibadat dan pengajaran, kemudian pesantren berkembang menjadi lembaga masyarakat yang memainkan peranan dominan dalam pembentukan tata nilai bersama yang berlaku bagi kedua belah pihak. Dalam proses pembinaan inti surau yang kecil hingga menjadi suatu lembaga masyarakat yang kompleks dengan kelengkapanya sendiri, pesantren juga merubah pola kehidupan masyarakat di sekitarnya.
Keberhasilan pesantren selama ini mempertahankan diri dari serangan kulturil yang silih berganti, sebagaian besar  dapat dicari sumbernya pada karisma yang cukup fleksible untuk mengadakan inovasi pada waktunya. Penunjang kehidupan pesantren dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu warga pesantren dan warga masyarakat luar yang mempunyai hubungan erat dengan pesantren.
Yang termasuk dalam warga pesantren adalah kyai (ajengan,nun, atau bendara) yang menjadi pengasuh, para guru (ustadz, bentuk ganda asatidz) dan para santri. Kepengurusan pesantren adakalanya berbentuk sederhana. Dimana kyai memegang pimpinan mutlak dalam segala hal. Sedangkan kepemimpnanya itu seringkali diwakilkan kepada seorang ustadz senior selaku lurah pondok. Seorang kyai dan para pembantunya, merupakan hirarki kekuasaan satu-satunya yang secara eksplisit diakui di dalam pesantren. Demikian besar kekuasaan seorang kyai atas santrinya, sehingga seorang santri untuk seumur hidupnya akan senantiasa merasa terikat dengan kyainya, minimal sebagai sumber inspirasi dan sebagai penunjang moril dalam kehidupanya.
Adapun  kedudukan ustadz memiliki dua fungsi pokok : sebagai latihan penumbuhan kemampuanya untuk menjadi kyai dikemudian hari, dan sebagai pembantu kyai dalam mendidik para santri. Dan yang dimaksud dengan santri adalah siswa yang tinggal di pesantren, guna menyerahkan diri. Ini merupakan persyaratan mutlak untuk memungkinkan dirinya menjadi anak didik kyai sepenuhnya.
Sedangkan yang dimaksud masyarakat luar adalah sebuah kelompok masyarakat yang dinamai “golongan santri” ( dikenal juga dengan sebutan “masyarakat kaum”, sedangkan daerah tempat tinggal mereka biasa disebut “kauman”). Golongan masyarakat kauman inilah yang ikut memelihara pesantren dengan memberikan dukungan meteril dan menyediakan calon santri yang akan belajar di pesantren. 
  Selain golongan masyarakat kauman, pesantren juga berhasil menciptakan “santri kota”. Yaitu santri yang pada umumnya tinggal di kota dan jarang melakukan hubungan secara langsung dengan pesantren, akan tetapi mereka menggunakan ajaran yang mereka dapatkan dari pesantren dalam kehidupan social mereka, seperti masalah bagi hasil pekerjaan ( qirad ) yang khusus antara pemilik modal dan fihak yang melaksanakan pemutaran modal (dimana bagian yang diserahkan kepada fihak kedua harus dianggap upah bukan laba).
Sedangkan tata nilai kehidupan yang ada dalam pesantren bersifat aplikatif, dalam arti harus diterjemahkan dalam perbuatan dan amalan sehari-hari, sudah tentu segi kemampuan para santri untuk mengaplikasikan pelajaran yang diterimanya, menjadi perhatian pokok kyai.
Pesantren terlibat dalm proses penciptaan tata nilai yang memiliki dua unsur utama : yaitu peniruan dan pengekangan. Unsur pertama, yaitu peniruan, adalah usaha yang dilaksanakan terus-menerus secara sadar untuk memindahkan pola kehidupan para sahabat Nabi SAW dan para ulama salaf ke dalam praktek kehidupan di pesantren. Tercermin dalam hal berikut ; ketaatan beribadat ritual secara maksimal, penerimaan atas kondisi materil yang relative serba kurang, kesadaran kelompok yang tinggi. Unsure kedua, pengekangan,  memiliki perwujudan utama dalam disiplin social yang ketat di pesantren. Kesetiaan tunggal kepada pesantren adalah dasar pokok disipllin ini, sedangkan pengucilan yang dijatuhkan atas pembangkangnya merupakan konsekwensi mekanisme pengekangan yang dipergunakan.
Disamping topongan moril dari seorang kyai bagi kehidupan pribadinya. Kreteria yang biasanya digunakan untuk mengukur kesetiaan seorang santri kepada pesantren adalah kesungguhanya dalam melaksanakan pola kehidupan yang tertera dalam literature fiqh dan tasawuf. Salah satu bentuk penerapan kreteria ini adalah sebuah sebutan “ahli maksiat” bagi semua santri yang melanggar dan dikucilakan.
Kehidupan di pesantren yang diwarnai oleh aserisme yang dikombinir dengan kesediaan melakukan segenap perintah kyai guna memperoleh berkah kyai, sudah barang tentu memberikan bekas yang mendalam pada jiwa seorang santri, dan bekas inilah yang pada gilianya nanti akan membebtuk sikap hidupnya sendiri. Sikap hidup bentukan pesantren ini, apabila dibawakan kedalam kehidupan masyarakat luar, sudah barang tentu pula  akan menjadi pilihan ideal bagi sikap hidup rawan yang serba tak menentu yang merupakan ciri utama kondisi serba transisionil dalam masyarakat dewasa ini. Di sinilah letak daya tarik yang besar dari pesanten sehingga para orang tua masih cukup banyak yang bersedia mengirimkan putera-puterinya untuk belajar di pesantren.
Leitmotif ini dapat dijumpai. Umpanya, pada orang tua yang menyantrikan anaknya untuk waktu terbatas saja di pesantren, untuk mendapatkan pengalaman psikologis yang dianggap sangat diperlukan oleh sang anak. Sangat menarik, sebagaimana digambarkan, yaitu usaha beberapa pesantren untuk mengembangkan “sekolah umum” seperti SMP dan SMA dalam lingkunganya, dengan pengetahuan agama tidak lagi merupakan profesi utama para santrinya.
Sedangkan pengaruh utama yang dimiiki pesantren atas kehidupan masyarakat terletak pada hubungan perorangan yang menembus segala hambatan yang diakibatkan oleh pebedaan strata yang aa di masyarakat. Hubungan ini merupakan jalur timbal-balik yang memiliki dua tugas : mengatur bimbingan spiritual dari fihak pesantren kepada masyarakat dalam soal-soal perdata agama ( perkawinan, waris dll ), dan soal ibadat ritual, dan pemeliharaan materil-finansil oleh masyarakat atas pesantren ( dalam bentuk pengumpulan dana dll ). Bagi anggota masyarakat luar, kehidupan pesantren merupakan gambaran ideal yang tidak mungkin dapat direalisir dalam kehidupanya : dengan demikian pesantren adalah tempat yang dapat memberikan kekuatan spiritual kepadanya dalam saat-saat tertentu.
 di samping itu, bagi pesantren yang menjadi pusat gerakan (tasawuf), terdapat daya tarik dalam kedudukan sebagai pusat gerakan. Tidak jarang pula factor kharismatik yang dimiliki seorang Kyai merupakan daya tarik yang kuat pula.
Hubungan yang matang dan didasarkan atas prinsip-prinsip kerjasama yang sehat tentu akan sangat berguna bagi kedua belah pihak, bagi pesantren hubungan ini akan berarti diperolehnya bimbingan teknis dan dana materil untuk perkembanganya sendiri : bagi masyarakat, hubungan ini akan mengurangi rasa terisolir yang dapat beralibat cukup parah apabila mencapai titik optimal dalam bentuk opsesi.
Dari apa yang telah diuraikan, tampak nyata bahwa proses perubahan sedang terjadi di pesantren, terutama dalam aspek pembentukan tata nilai di dalamnya. Perubahan itu, demikian pula tantangan-tantangn yang dihadapi pesantren dewasa ini, memiliki intensitas lebih tinggi daripada perubahan gradual yang dialami pesantren di masa lampau. Karenanya, pesantren dewasa ini dapat dikatan berada dipersimpangan jalan yang sangat menentukan bagi kelanjutan hidupnya sendiri. Pesantren harus menentukan pilihan diantara berbagai alternative, yang tidak semuanya menggembirakan. Terlebih lagi, pesantren harus mengadakan perubahan kwalitatif yang menyeluruh, terutama dalam sikap hidup yang dimilikinya. Memang banyak kemajuan yang telah dicapai, terutama karena pesantren-pesantren utama dewasa ini tengah terlibat dalam proses mencapai keseimbangan antara tata nilai yang dihayatinya selama ini dan nilai-nilai baru yang menyerap kedalamnya secara massif, terutama sebagai akibat dari perubahan kwasi-politik semenjak pemilihan umum tahun1971.
Tetapi proses lain yang sedang berlangsung pada intensitas tinggi adalah usaha penyerapan terang-terangan yang lebih fundamental terhadap tata nilai yang sudah ada, terutama berupa gejala yang cukup mengkhawatirkan berlangsungnnya proses pendangkalan pengetahuan agama di pesantren. Di antara tantangan yang fundamental itu adalah berlangsungnya proses pengalihan tanggunga jawab dalam mengambil keputusan terakhir dalam suatu persoalan dari tangan kyai kepada rapat pengurus, dengan implikasi semakin banyaknya kyai yang menenpati kedudukan primus interpares. Namun diketahui adalah proses ini akan berakhir pada habisnya kekuasaan tunggal seorang kyai di pesantren.
Kemampuan pesantren untuk tetap dapat mempertahankan identitas dirinya yang bersifat subkulturil sedang diuji. Masih menjadi pertanyaan besar mampu atau tidaknya ia menyerap perubahan demi perubahan kulturil yang sedang dan akan berlangsung di masyarakat, minimal dengan tidak kehilangan tata nilai yang telah dimilikinya selama ini. Di tengah suasana kemasyarakatan dimana kata-kata kejujuran, kesungguhan, kepatuhan dan kesederhanaan tengah mengalami pemutar-balikan pengertian secara sinis, niscara merupakan tragedy bila pesantren harus mengalami pemutar-balikan tata nilai yang telah dimilikinya selama ini.    

Perkembangan Madrasah di Indonesia

a.Sejarah Asal-usul dan Perkembangan Madrasah
Sebelum kita membahas masalah perkembangan madrasah lebih dalam lagi, perlu kita sedikit menoleh ke belakang, tentang asal-usul pendidikan islam (Madrasah) di Indonesia. Sebelum adanya pendidikan berbasis agama islam, terlebih dahulu telah ada pendidikan kolonial yang dipelopori oleh Belanda. Sedangkan pada masa itu pendidikan islam hanya terbatas pendidikan pesantren yang mana metode pembelajaranya masih tradisional, sedangkan pendidikan kolonial jauh lebih maju baik dari segi isi, metode serta sistem pembelajaran.
    Setelah berjalan beberapa waktu, timbul inisiatif pertama yang dikenal di seluruh Indonesia dan memberikan hasil cukup lama, yaitu gerakan salaf di Minangkabau yang juga disebut dengan Modernis Padang, atau modernis kaum muda. Gerakan ini memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap perkembangan pendidikan islam di Indonesia. Karena atas inisiatif Syekh Abdullah Ahmad, maka didirikanlah Madrasah Abadiyah di Padang (Sumatra Barat) tahun 1909. Madrasah ini merupakan madrasah pertama di Indonesia. Madrasah Abadiyah pada mulanya bercorak agama semata, baru pada tahun 1915 ketika menjadi HIS (Holland Inland School) Adabiyah dimasukan pelajaran umum ke dalamnya.
    Sebenarnya bila kita teliti lebih dalam lagi, pembaharuan pendidikan islam yang banyak mengundang reaksi dari kalangan luar, bukanlah dimulai dari kota besar Padang, melainkan dari beberapa tempat yang lebih kecil di Padang daratan. Dorongan yang terpenting berasal dari tokoh aneh, tetapi mempunyai kepribadian yang kuat, Zainuddin Labai el Janusi (1890-1924). Pada tahun 1915, ia membuka sekolah guru Diniyah dengan mempergunakan sistem berkelas dengan kurikulum yang lebih teratur dan mencakup pengetahuan umum, seperti bahasa, matematika, sejarah, ilmu bumi, di samping pelajaran agama terdapat juga kegiatan ekstra berupa klub musik 
    Tetapi sebelum didirikanya Madrasah Abadiyah di Padang, telah didirikan sekolah tinggi di Surakarta oleh Paku Buwono yang digabungkan dengan masjid, mempunyai 14 orang guru dan 325 orang murid. Pelajaran agama terdiri dari membaca dan menghafal Al-Qur’an, kitab Safinah dan Ummul Barahim. Selanjutnya pelajaran diberikan dalam bahasa arab, juga diberikan mata pelajaran ilmu falak, pengetahuan tentang peredaran matahari, perhitungan tentang gerhana matahari, Al-jabar dan Mantik.  Maka sekolah ini (Manba’ul Ulum) dapat dianggap sebagai pelopor dalam pembaharuan pendidikan, antara lain memasukan beberapa unsur pendidikan Barat ke dalam kurikulum pendidikan islam di Indonesia.
    Pembaharuan pendidikan islam yang juga menjadi cikal bakal madrasah juga dilakukan organisasi keagamaan, seperti Muhammadiyah dan masyarakat keturunan Arab baik di Jakarta, Surabaya dan beberapa tempat lainya. Muhammadiyah sebagai sebuah organisasi pendidikan dan sosial didirikan oleh K.H Ahmad Dahlan dan sahabat-sahabatnya pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330/18 November 1912 di Yogyakarta. Dalam dunia pendidikan, Muhammadiyah menggabungkan sistem pendidikan pondok pesantren, yang selama ini menjadi sistem pendidikan yang mapan di kalangan umat islam untuk mempertahankan diri dari setiap ekspansi Kristenisasi, dengan sistem pendidikan Barat, yang dianut oleh Belanda dan misi Kristen. Pola klasikal yang dipakai oleh sekolah-sekolah sistem barat itu diambil alih sepenuhnya oleh Muhammadiyah, sedangkan materi pelajaranya adalah tentang masalah umum ditambah dengan mata pelajaran agama islam.
    Sedangkan masyarakat keturunan Arab yang dipimpin oleh Syeikh Ahmad Soekarti pada tahun 1913, mendirikan sebuah organisasi sosial dan pendidikan dengan nama “Al-Irsyad” di Jakarta. Organisassi ini sebenarnya merupakan respon dari pada gerakan pembaharuan/modernis yang dilakukan oleh Jamaluddin Al-Afghani, Muhammmad Abduh dan Rasyid Ridha di Mesir.


    Selain organisasi-organisasi di atas masih terdapat banyak lagi organisasi lain yang mempunyai peranan besar dalam perkembangan madrasah di Indonesia antara lain :
1.    Nahdhatul ‘Ulama (NU)
NU didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya dengan tokoh yang memprakasai berdirinya K.H. Hasyim’Asyari dan K.H Wahab Hasbullah. NU banyak mendirikan Madrasah (di samping tentunya pesantren), dengan susunanya adalah Madrasah Awaliyah (2 tahun), Ibtidaiyah (3 tahun), Tsanawiyah (3 tahun), Mu’alimin Wustha (2 tahun), dan Mua’llimin ‘Ulya (3 tahun).
2.    Perhimpunan Umat Islam
Ini merupakan fusi Perikatan Umat Islam yang didirikan di Majalengka Jawa Barat oleh K.H A.Halim pada rahun 1917 dan Al-Ittihad Al-Islamiyah yang didirikan di Suka Bumi oleh K.H A.Sanusi pada tahun 1931. Perhimpunan Umat  Islam mendirikan beberapa lembaga pendidikan yaitu Madrasah Diniyah (6 tahun), Tsanawiyah (4 tahun), dan Madrasah Aliyah (4 tahun).
3.    Persatuan Islam (Persis)
Persis merupakan organisasi sosial, pendidikan, dan keagamaan yang didirikan di Bandung pada 17 September 1923 atas prakasa K.H M.Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dua orang saudagar asal Palembang yang telah lama menetap di Jawa Barat. Persis memiliki beberapa lembaga pendidikan, di antranya Taman Kanak-kanak HIS, sekolah MULO, Sekolah Guru dan beberapa pesantren.
4.    Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI)
PERTI merupakan organisasi sosial yang didirikan pada 5 Mei 1930 di Candung, Bukit Tinggi. Bergerak dalam bidang sosial, pendidikan dan dakwah. Pendirinya adalah para alim ulama’ tersohor di Sumatra Barat, di antaranya ialah Syekh Suleman Arrasuli Candung, Syekh Muhammad Abbas Al-Kadi Bukit Tinggi, Syekh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang, dan Syekh Abdul Wahid Tabek Gadang. Dalam usahanya di bidang pendidikan PERTI mendirikan Madrasah dengan berbagai nama, di antaranya Madrasah Tarbiyah Islamiyah, Madrasah Awaliyah, Madrasah Tsanawiyah dan Kuliyah Syari’ah.
 

5.    Perserikatan Ulama’
Organisasi ini didirikan pada tahun 1917 di Majalengka oleh K.H Abdul Halim. Usahanya di bidang pendidikan lembaga pendidikan bersifat modern, dengan nama Jam’iyat I’anat al-Musta’alimin yang mendapat sambutan baik dari masyarakat Majalengka.
6.    Al-Jam’iyatul Washiliyah
Al-Jam’iyatul Washiliyah adalah organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang sosial keagamaan di Indonesia. Organisasi ini didirikan di Medan, Sumatra Utara pada 30 November 1930 (9 Rajab 1349 H). Organisasi ini didirikan atas inisiatif sekelompok siswa Maktab Islamiyah Tapanuli Medan yang tergabung dalam sebuah kelompok diskusi yang bernama “Debating Club”. Al-Washiliyah cukup banyak mendirikan pendidkan berbagai tingkatan, seperti Madrasah Ibtidaiyah (6 tahun), Mts (3 tahun), Madrasah Qismul ‘Ali (3 tahun), Madrasah Mu’alimin (3 tahun), PGA, SD Al-Washiliyah (6 tahun), SMP Al-Washiliyah (3 tahun), dan SMA Al-Washiliyah (3 tahun)
    Selain dari pada organisasi-organisasi di atas masih terdapat beberapa organisasi-organisasi lain baik yang bergerak dalam bidang sosial ataupun keagamaan yang ikut andil dalam mengembangkan pendidikan di Indonesia. Juga terdapat beberapa tokoh agama yang berperan dalam pengembangan pendidikan seperti H.Muhammad Mansyur, K.H Moh.Ilyas,  Abdullah Ahmad, Abdul karim Amrullah  dan masih banyak lainnya.
b.Perbaikan dan Peningkatan Kualitas Madrasah
    Sejak kemerdekaan Indonesia, upaya-upaya perbaikan dan peningkatan madrasah selalu dilakukan dalam berbagai aspek. Usaha untuk itu dimulai dengan memberikan bantuan terhadap lembaga tersebut sebagaimana yang dianjurkan oleh Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP) tanggal 27` Desember 1945, yang menyebutkan bahwa : Madrasah dan pesantren yang pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantaun nyata berupa tuntunan dan bantuan material dari pemerintah.
    Agar madrasah mendapat bantuan material dan bimbingan dari pemerintah sesuai dengan sasaran BP KNIP, maka Kementrian Agama mengeluarkan peraturan Menteri Agama Nomor 1 tahun 1952. Menurut ketentuan ini, yang dinamakan madrasah ialah tempat pendidikan yang telah diatur sebagai sekolah dan memuat pendidikan umum dan ilmu pengetahuan agama Islam menjadi pokok pengajaranya.
    Menurut ketentuan tersebut, jenjang pendidikan dalam madrasah tersusun sebagai berikut:
a.    Madrasah Ibtidaiyah 6 tahun
b.    Madrasah Tsanawiyah 3 tahun
c.    Madrasah Aliyah 3 tahun
Sedangkan langkah-langkah pemerintah khususnya Departemen Agama (DEPAG) dalam mengembangkan pendidikan keagamaan, terutama madrasah, antara lain : mengembangkan Madrasah Wajib Belajar (MWB), Penegrian Madrasah, SKB 3 Mentri, UUSPN dan Implikasinya, Pengembangan Madrasah Model dan MA keagamaan.
1.    Madrasah Wajib Belajar
Dengan lahirnya UU Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang diikuti dengan beberapa Peraturan Pemerintah sebagai kerangka acuan penyelenggaraanya, terutama PP Nomor 28 Tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar, maka jenjang pendidikan dasar yang merupakan Program Wajib Belajar  adalah 9 tahun, meliputi Madrasah Ibtidaiyah 6 tahun, Madrasah Tsanawiyah 3 tahun. Wajib belajar itu secara resmi dicanangkan oleh presiden Soeharto pada 2 Mei 1994. Setidaknya ada dua hal yang akan dicapai MWB, yaitu : pertama, Sesuai dengan namanya, MWB turut berusaha dalam melaksanakan undang-undang kewajiban belajar di Indonesia. Kedua, pendidikan terutama sekali diarahkan kepada pembangunan jiwa bangsa untuk mencapai kemajuan di lapangan ekonomi, industrialisasi dan transmigrasi. 
2.    Penegrian Madrasah
Penegrian dilatar belakangi karena madrasah pada umumnya didirikan secara swadaya dan swadana. Sudah barang tentu tidak akan mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara  pendidikan modern, yang semakin menuntut relevansi tinggi terhadap dunia teknologi dan industri. Usaha penegerian madrasah (asalnya swasta) dimulai dengan adanya penetapan Menteri Agama RI Nomor 1 tahun 1959  tentang Pengasuhan dan Pemeliharaan Sekolah Rakyat Islam di provinsi Aceh. Kemudian dengan Keputusan Menteri Agama Nomor 104 tahun 1962 menjadi Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN). pada tahun 1962 terbuka kesempatan untuk menegrikan madrasah untuk semua tingkatan yaitu, Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN), dan Madrasah Aliyah Agama Islam Negeri (MAAIN). Dengan adanya kesempatan tersebut, maka jumlah keseluruhan madrasah negeri yaitu MIN 358 buah, MTsN 182 buah, dan MAAIN 42 buah.
3.    Lahirnya SKB 3 Menteri
Upaya membenahi madrasah terus digulirkan, diantaranya SKB 3 Menteri yang memberikan banyak keuntungan bagi madrasah. Tahun 1975 pemerintah menggulirkan kebijakan berupa SKB (Surat Keputusan Bersama) 3 Menteri ; Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dan Menteri dalam Negeri. Dengan SKB tersebut ditetapkan hal-hal berikut :
a.    Ijasah madrasah dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijasah sekolah umum yang setingkat.
b.    Lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat lebih atas
c.    Siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat.
4.    UUSPN dan Penciptaan Suasana Religius
Kebijakan paling akhir yang bersifat umum, tetapi juga langsung berpengaruh terhadap madrasah adalah ditetapkanya UU Nomor 2 tahun 1989 tentang system pendidikan nasional. UU itu mengamanatkan bahwa otoritas penyelewnggara lembaga-lembaga pendidikan, termasuk di dalamnya lembaga-lembaga pendidikan islam ada pada Depdikbut, sedangkan Depag hanya memiliki otoritas terhadap pendidikan keagamaan, seperti Madrasah Diniyah. Praktis dengan di keluarkanya UUSPN beserta peraturan-peraturan pemerintah yang menyertainya, berarti madrasah menjadi sekolah umum.


5.    Madrasah Model
Madrasah Model adalah medrasah negeri yang memiliki standar tertentu dari segi sarana dan prasarana, jumlah dan kualifikasi tenaga kependidikan, dan siswa-siswi yang terseleksi sehingga pelaksanaan pembelajaran dapat berjalan dengan intensitas tinggi. Dengan demikian, diharapkan akan melahirkan lulusan yang tinggi kualitasnya. Terobosan ini diharapkan memliki efek imbas atau dapat direplikasi pada madrasah lain di sekitarnya.
c. Dilema arah pendidikan Madrasah
Seiring dengan berkembangnya madrasah, timbul suatu  permasalah tentang arah pendidikan madrasah. Madrasah dihadapkan kepada dilema tentang arah pendidikan madrasah. Pada awal pertumbuhanya, madrasah tampil sebagai sekolah yang mengajarkan ilmu-ilmu agama murni, sebagai perpanjangan dari madrasah diniyah yang telah ada sejak abad-abad pertama sejarah islam di Timur Tengah. Sementara di pihak lain, sekolah-sekolah yang mengajarkan ilmu-ilmu umum terlebih dahulu telah ada. Dengan demikian, di awal masa pembaharuan islam di nusantara terdapat dualitas pendidikan; yakni pendidikan Islam dan pendidikan umum. Namun perbedaan atau kesenjangan itu kini telah hilang seiring ditetapkanya UU Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dengan UUSPN ini ditetapkan bahwa kedudukan madrasah sudah berbanding lurus dengan sekolah umum.
Tetapi dengan UU tersebut membawa dampak besar terhadap eksistensi madrasah sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan agama secara murni. Menurut Mulkhan (2002), sejak perubahan status ini madrasah menghadapi pilihan sulit, yaitu di antara kebutuhan keagamaan dan lebutuhan duniawi. Di satu sisi, madrasah dituntut bisa berfungsi meningkatkan pemahaman ilmu-ilmu agama dan kemampuan mengamalkan ajaran islam. Sementara di sisi lain, lembaga ini dituntut berfungsi menumbuhkan kemampuan peserta didik dalam memenuhi kebutuhan hidup yang tidak seluruhnya bisa dipecahkan dengan ilmu agama tersebut.


d.    Relevansi dan Masa Depan Madrasah
    Dalam pembahasan tentang masa depan madrasah, sudah saatnya madrasah melakuakan perbaikan atau revisi terhadap seluruh aktivitas pendidikanya. Salah satu revis substantive yang perlu dilakukan menurut Azra (2002) adalah seputar sejarah madrasah. Revisionisme sejarah madrasah sangat penting, mengingat perjalanan kehidupan akan terus berputar dan direkonstruksi pada fase-fase setelahnya. Selama ini pola kajian mengenai madrasah ada dua : pertama, pola kajian yang cenderung sangat mengidealisasikan madrasah. Pola kedua, kajian sejarah yang menjelaskan madrasah sebagai lembaga pendidikan, yang meski memiliki formalitas tertentu, tetapi tidak seketat yang dibayangkan.
    Terkait dengan keadaan madrasah saat ini yang mengalami dilema, hendaknya madrasah memiliki acuan normatif dan memiliki gambaran masyarakat yang diidam-idamkan.  Sedangkan menurut penulis hendaknya madrasah melakukan pembenahan secara kualitatif, baik dari segi materi, kurikulum, tenaga pengajar, sarana dan prasarana serta sistem. Di samping itu hendaknya madrasah juga membaca kebutuhan masyarakat sehingga dapat menentukan arah pendidikan sehingga tercipta relevansi antara pendidikan dan kebutuhan masyarakat dengan tidak lupa tujuan awal didirikanya madrasah sebagai lembaga pendidikan agama.










Daftar pustaka :

Ø    Khozin,2006,Jejak-jejak pendidikan islam di Indonesia,Malang,UMM press
Ø    Hasbullah,2009,Dasar-dasar ilmu pendidikan,Jakarta,PT.Raja Grafindo Persada
Ø    Steenbrink,karel,A,1996.Pesantren Madrasah Sekolah,pendidikan islam dalm kurun modern,Jakarta,LP3ES
Ø    A. Timur Djaelani,1980, peningkatan mutu Pendidikan dan Pembinaan Perguruan Agama,Jakarta,Dermaga
Ø    Mahmud Yunus,1985, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Hidakarya Agung
Ø    Djaelani,Qadir,Abdul,1994Peran Ulama dan Santri dalam perjuangan politik islam di Indonesia,Surabaya,PT.Bina Ilmu
Ø    Maksum,1999,Sejarah & paerkembanganya,Jakarta,PT Logos Wacana Ilmu